Topang Ketahanan Pangan, KKP dan BPPT Sepakat Kerjasama Kembangkan Teknologi Budidaya
Dikatakan Slamet, pada sub sektor perikanan budidaya, kerjasama KKP-BPPT setidaknya akan diarahkan pada 5 bidang
19 April 2017 11:54 WIB

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, melakukan penandatangan nota kerjasama antara KKP dengan BPPT, di Gedung KKP, Jakarta, Selasa (18/4). | ist |
JAKARTA, JITUNEWS.COM - Sub sektor perikanan diprediksi akan menjadi barometer utama dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional, seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat. Di sisi lain, orientasi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari konsumsi daging merah ke daging putih akan semakin memicu ketergantungan masyarakat pada sumber protein ikan.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam keterangannya seusai penandatangan nota kerjasama antara KKP dengan BPPT, di Gedung KKP, Jakarta, Selasa (18/4) kemarin.
Ditambahkan Slamet, satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional adalah dengan mendorong peningkatan produksi nasional berbasis komoditas unggulan melalui pengembangan inovasi teknologi yang efektif, efisien, dan mampu diadopsi secara massal oleh masyarakat.
KKP Fokuskan Perencanaan Kawasan Budidaya Berkelanjutan
Menurutnya, sebagai salah satu lembaga pengkajian dan penerapan teknologi yang ada di Indonesia, BPPT memiliki peran strategis terutama dalam menciptakan inovasi teknologi perikanan budidaya, sehingga kerjasama dengan KKP ini memiliki nilai penting dalam memberikan solusi bagi optimalisasi sumberdaya perikanan budidaya di Indonesia.
Slamet menggarisbawahi bahwa saat ini di tengah tantangan besar perubahan iklim dan lingkungan global yang secara langsung akan sangat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas pada sektor-sektor yang berbasis pangan, maka segenap stakeholders perikanan budidaya khususnya lembaga/instansi riset harus berjuang ekstra keras dalam mengantisipasi tantangan tersebut. Inovasi teknologi yang berbasis mitigasi dan konservasi, pemilihan komoditas/spesies yang memiliki performance lebih baik khususnya yang adaptif terhadap kondisi lingkungan sejak dini harus menjadi fokus pengembangan.
“Kerjasama KKP dengan BPPT ke depan, saya rasa perlu lebih difokuskan pada upaya-upaya bagaimana mendorong produktivitas tinggi di tengah tantangan perubahan iklim dan lingkungan global saat ini,” jelas Slamet
Dikatakan Slamet, pada sub sektor perikanan budidaya, kerjasama KKP-BPPT setidaknya akan diarahkan pada 5 bidang, yaitu pengembangan spesies ikan yang adaptif, teknologi di bidang genetika, pengembangan hormon rekombinan, pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, dan pengembangan teknologi nutrisi (pakan).
Salah satu contoh kerjasama pengembangan komoditas budidaya yang adaptif yang selama ini berjalan antara BPPT dengan Ditjen Perikanan Budidaya adalah pengembangan Nila Salina yang secara nyata telah memberikan manfaat dalam menopang produksi perikanan nasional.
Karakteristik keunggulan ikan Nila Salina yang dapat dibesarkan di KJA laut dan tambak pada kisaran salintias 27 – 35 ppt serta memiliki pertumbuhan dan efesiensi pakan yang baik, menyebabkan ikan ini sangat potensial untuk digenjot produksinya. Nila Salina tersebut dapat mencapai berat 340 gram/ekor selama pemeliharaan 3,5 bulan dengan Food Conversion Ratio (FCR) pada kisaran antara 1,46 - 1,56 dan kelangsungan hidup di atas 85%. Hal ini memberikan peluang tersendiri, karena sebelumnya nila hanya dikenal dibudidayakan di air tawar. Sebelumnya juga pernah dilakukan kerjasama dalam hal pengembangan induk unggul ikan kerapu tikus, dimana hasilnya telah memberikan kontribusi bagi peningkatan produksi ikan kerapu nasional.
Tak hanya itu, KKP dan BPPT pun sepakat bahwa kerjasama akan dikembangkan lagi secara luas. Menurut Slamet, ke depan dengan perpanjangan kerjasama ini, maka tidak hanya terfokus pada pengembangan ikan Nila Salina dan Kerapu saja, namun pihaknya secara bersama-sama akan mendorong komoditas potensial lainnya seperti Udang Galah, terutama dalam pengembangan sex reversal pada udang galah jantan untuk menghasilkan udang galah betina (neofemale) menggunakan dsRNA (MrIAG (makrobrachium insulin like Androgen Gland).
“Udang Galah Noefemale ini diharapkan yang akan memiliki performa pertumbuhan yang lebih baik. Pengembangan Udang Galah yang secara teknis dapat dikembangkan secara tumpang sari dengan Padi atau dengan istilah “Ugadi”. Ini sangat sejalan dengan upaya Pemerintah dalam menopang ketahanan pangan nasional saat ini,” papar Slamet.
Kerjasama lainnya yang tidak kalah penting adalah pengembangan teknologi pakan mandiri yang akan didorong sebagai agenda strategis ke depan. Inovasi teknologi pakan mandiri akan diarahkan untuk menghasilkan pakan yang berkualitas dengan efisiensi yang tinggi melalui teknologi formulasi pakan dan mendorong pemanfaatan sumber bahan baku pakan lokal.
Terkait formulasi pakan, salah satu fokusnya adalah bagaimana meningkatkan efisiensi pakan, antara lain melalui aplikasi enzyme dan recombinant Growth Hormon (rGH) pada pakan mandiri. Pada bidang pengelolaan kesehatan ikan, akan dikembangkan penerapan vaksin deoxyribose-nucleid acid (DNA) streptococcus pada ikan nila di tambak dan nila di KJA untuk menghasilkan nila yang tahan penyakit.
Di samping itu juga, ke depan kerjasama ini juga akan didorong untuk menghasilkan inovasi peralatan, mesin dan prasarana budidaya, antara lain seperti teknologi terkait kapal angkut ikan hidup, paddle wheel Aerator (kincir) untuk budidaya tambak, dan prasarana budidaya lainnya.
Diakui Slamet, hingga saat ini lebih dari 50% peralatan, mesin dan prasarana budidaya merupakan produk luar negeri, oleh karena itu menurutnya kerjasama ini nantinya merupakan momen penting untuk mengurangi ketergantungan pada produk-produk impor, yaitu dengan mulai mengawali pengembangan produk-produk buatan dalam negeri.
Hingga tahun 2019 tingkat konsumsi ikan per kapita Indonesia diproyeksikan akan mencapai > 50 kg per kapita, artinya untuk mencukupi kebutuhan tersebut dibutuhkan suplai setidaknya sebanyak 14,6 juta ton ikan konsumsi. Bukan tidak mungkin suplai tersebut diprediksi akan banyak tergantung pada produk ikan hasil budidaya yaitu sekitar 60% dari total kebutuhan.
Sebagai gambaran, jika tahun 2016 saja secara nasional produksi ikan hasil budidaya sebanyak 4,98 juta ton (angka sementara), maka dengan begitu pada tahun 2019 diperkirakan masih ada kekurangan suplai ikan yang harus terpenuhi sebanyak 9,62 juta ton, dimana subsector perikanan budidaya paling tidak harus mampu menyumbang kebutuhan sebesar 5,8 juta ton.
KKP Gandeng Kementerian PUPR untuk Tata Kawasan Perikanan Budidaya
Penulis | : | Riana |