Endah Laras: Keroncong itu Napas Hidupku, Tak Bisa Kutinggalkan
Endah Laras sama dengan keroncong.
18 Maret 2023 09:01 WIB

Endah Laras tampil menyanyi di hadapan penonton luar negeri. | instagram.com/endahlaras_ |
SOLO, JITUNEWS.COM – Endah Laras barangkali nama yang tak asing di dunia musik Tanah Air. Kini, ia bisa dibilang sebagai kiblat referensi genre keroncong. Bagaimana pun, berkarya dalam satu rel selama 26 tahun itu bukan kesetiaan yang singkat.
Kendati lahir di Sukoharjo, Endah Laras mengenyam pendidikan sekolah menengah di Ibu Kota. Ia baru pulang ke kampung halaman setelah urusan orang tuanya selesai. Saat itu bertepatan dengan kelulusan Endah dari SMA Negeri 101 Joglo Kembangan, Jakarta Barat.
Ringkas kisah, jelang perjalanan pulang, Endah terlebih dahulu pergi ke kamar mandi. Dan seperti biasa, ia menyalurkan hobinya: menyanyi. Ia melantunkan tembang Yen Ing Tawang Ana Lintang.
Di Koridor Gatsu, Sapardi Abadi
Seorang sopir pengangkut barang agaknya memiliki telinga yang amat peka. Ia bisa menangkap suara emas dari jarak tertentu. Nyanyian Endah itu membuatnya terpukau. Kebetulan, ia bakal menghelat acara perayaan atas khitanan anaknya. Lekas sang sopir meminta Endah untuk ikut memeriahkan hajatan tersebut.
Semula, Endah menganggap ajakan itu hanya angin lalu. Namun dua pekan mendatang, sopir itu tiba di rumahnya. Ia tak menyangka bahwa tawaran tempo lalu benar-benar serius.
Kecintaan Endah terhadap musik keroncong ternyata tumbuh dari panggung hajatan sang sopir. “Di situ ada hiburan keroncong, dan saya diminta nyanyi satu lagu. Saya langsung jatuh cinta pada keroncong,” kata Endah Laras saat ditemui di kediamannya, Gatak, Sukoharjo, pada Selasa (1/2/2023).
Karena cinta, Endah memutuskan untuk mendalami musik keroncong. Keseriusan itu menuntun langkahnya kepada pakar keroncong, terutama Andjar Any, seorang yang dikenal sebagai Begawan Langgam Jawa—nyaris semua langgam gubahannya populer dan dibawakan penyanyi ternama kala itu, Waldjinah.
Endah sempat terhalang ketika ketekunannya di ambang titik cerah. Sang ayah, Sri Joko Raharjo, adalah seniman tradisi yang tegak. Ia mau anaknya membasahi diri dengan seni tradisi, tanpa kontaminasi modernisme sedikit pun. Akan tetapi, seiring waktu, Sri Joko akhirnya merestui keputusan Endah dengan berbagai pertimbangan yang realistis.
Lahir di keluarga seniman tradisi, agaknya lazim bila Endah menyerap buah kreativitas dari maestro Ki Narto Sabdo. Khusus keroncong, ia mengacu pada sosok Waldjinah, Mini Satria, Bram Aceh hingga Gesang. Selain itu, Endah juga terbuka dengan warna musik lain.
“Dari musik barat, ada Mozart, Beethoven. Sedari SMP-SMA sudah saya kulik, saya pelajari, saya dengarkan juga. Itu menjadi referensi juga dalam perjalanan berkesenian,” terangnya.
Musikalitas Endah semakin matang di sisi Andjar Any. Ia lantas masuk ke dapur rekaman. Hasilnya, album bertajuk “Gemes” meluncur ke khalayak pada 1996. Album perdana ini sekaligus mengukuhkan Endah sebagai penyanyi profesional.
Tahun saat album Gemes dirilis juga menandai langkah baru Endah di dunia akademik. Ia kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)—saat ini ISI Surakarta, tepatnya jurusan Karawitan. Akan tetapi, ia tidak menyelesaikan program sarjananya lantaran jadwal menyanyi yang kian deras.
Wanita kelahiran 3 Agustus 1976 itu tidak abai dengan dapur rekaman meski disibukkan kerja panggung. Dalam catatan kekaryaannya, ia telah melahirkan banyak album, antara lain Jangkrik Genggong (1997), Kembang Kecubung (1998), Lega (1998), Jenang Gula Kendhang Kempul-Kempul (1998), Jakarta-Surabaya (1998), Andhe-Andhe Lumut (2000), Mung Sliramu (2000), Aja Kandha Sapa-sapa (2003-2007), Gajah Lampung (2008), Keroncong Koe (2010).
Kesetiaan Endah Laras dalam menggeluti keroncong berbuah manis. Ia beberapa kali melantai di acara internasional di beberapa negara Asia, hingga lintas benua, seperti Amerika dan Eropa.
Pengalaman menyanyi di luar negeri itu terus membekas. Semua tempat itu, bagi Endah, menimbulkan kesan dan ekspresi tersendiri. Di Jepang, ia begitu haru karena musik keroncong didengar dengan penuh penghayatan. Ia ingat betul, tak sedikit penonton yang menitikkan air mata ketika keroncong mengalun.
“Mereka benar-benar mendengarkan musik keroncong itu sampai menangis, paling tidak lagu-lagu kita di Jepang banyak diapresiasi, kayak lagunya Mbah Gesang, Caping Gunung, Bengawan Solo, itu di sana mereka sangat tahu. Makanya itu bikin saya terharu,” ucap Endah.
Endah pun dibuat terkesima saat berada di Amerika. Pasalnya para pelajar di Negeri Paman Sam itu sangat piawai menabuh gamelan Jawa dan Bali. “Luar biasa. Itu membuat saya terenyuh juga,” katanya.
Pengalaman segudang di atas panggung tak membuat Endah bersedekap. Ia selalu merentangkan diri terhadap hal-hal baru. Seperti iming-iming kolaborasi lintas genre dari grup cadas asal Solo, Down For Life. Ia menerima tawaran itu dengan semringah.
Dalam berkesenian, termasuk proyek kolaborasi, Endah berupaya memberikan sumbangsih terbaiknya. Dan ia tetap menyadari bahwa kolaborasi bukan sekadar unjuk kehebatan, melainkan saling mengisi demi sebuah karya yang istimewa. “Ketika saya dapat materi ini saya harus seperti apa. Itu gak bisa spontan. Harus ada perjalanan sejauh ini supaya saya bisa menemukan ramuan,” tuturnya.
Adapun kolaborasi Endah dengan Down For Life terjadi dua kali, yakni di Rock In Solo 2021 dan Synchronize Festival 2022. Pada panggung kedua itu, komposer gamelan progresif Gondrong Gunarto ikut terlibat. Alhasil ketiganya melebur dalam trek Menuju Matahari, gubahan band yang dipentoli Stephanus Adjie itu.
“Jadi itu [kolaborasi dengan Down For Life] embrionya di Rock In Solo, ada tantangan, tidak jauh berbeda aja ketika saya di luar negeri. Karena wis terlalu kulina (sudah terbiasa), jadi model apa saja bisa. Dan ternyata diapresiasi terus dan mereka senang,” jelas Endah.
Endah dan Kucumbu Tubuh Indahku
Pembicaraan Endah Laras tidak buntu pada perkara musik. Ia mendapat sorot kamera dalam bidang lain, seperti film. Sejumlah judul layar lebar yang melibatkan dirinya antara lain, Soegija (2012), Finding Srimulat (2013), Miracle: Jatuh dari Surga (2015), Guru Ngaji (2018), Kucumbu Tubuh Indahku (2019). Bahkan pada 2022, tiga film yang dibintangi Endah dirilis, yakni Srimulat: Hil yang Mustahal-Babak Pertama, Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti, Nagih Janji Cinta.
Di kancah sinema, Endah mengaku sangat mengidolakan Dewi Irawan, juga Christine Hakim, dan Slamet Rahardjo. Ia mengagumi kemahiran mereka dalam berakting. Dari mereka pula, ia jadi terdorong untuk terus menguliti ilmu peran.
“Karena di film itu termasuk sesuatu yang baru, walaupun sudah main beberapa kali, tapi saya anggap saya masih perlu belajar,” ujar Endah.
Dari sekian film yang dibintangi Endah, Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) adalah salah satu yang fenomenal. Film ini mengisahkan perjuangan seorang penari Lengger (Juno kecil diperankan Raditya Evandra, Juno dewasa oleh Muhammad Khan) dalam menemukan jati dirinya. Alur film diilhami dari perjalanan hidup seniman asal Banyumas, Rianto. Endah, dalam judul ini, berperan sebagai bibi dari Juno.
Sepanjang 2018, Kucumbu Tubuh Indahku ditayangkan di beberapa festival internasional. Lalu April 2019, film tersebut beredar di bioskop. Film yang disutradarai Garin Nugroho ini berjaya dengan memenangkan dua dari tujuh nominasi Festival Film Tempo 2018, dan delapan penghargaan dari dua belas nominasi Festival Film Indonesia 2019.
Tak ada kendala berarti pada hari-hari awal penayangan Kucumbu Tubuh Indahku. Namun hampir satu pekan, muncul suatu petisi Change.org yang menentang penayangan film tersebut di bioskop. Alasannya, muatan di dalam film bertentangan dengan budaya Indonesia.
Imbasnya, film ini dilarang tayang di tujuh kota dan kabupaten dari lima provinsi. Mulai dari Padang (Sumatra Barat), Palembang (Sumatra Selatan), Pekanbaru (Riau), Depok dan Garut (Jawa Barat), dan Pontianak dan Kubu Raya (Kalimantan Barat).
Sebagai pemeran, Endah tentu tahu betul proses produksi Kucumbu Tubuh Indahku. Ia menilai karya tersebut sudah selayaknya diganjar banyak penghargaan. Ia pun turut menyesalkan adanya pemboikotan dari segelintir pihak atas film yang juga dibintangi Sujiwo Tejo dan Randy Pangalila ini.
Endah mengatakan, alangkah baiknya bila sebuah karya disaksikan secara menyeluruh, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan utuh. Menurutnya, menyerap sepotong informasi berpotensi membuat situasi keruh.
“Kita harus belajar menghormati, menghargai, mengapresiasi sebuah karya seni. Kita juga harus mikir bahwa ini totalitas karya anak bangsa. Mereka membikin film ini dengan pemikiran, dengan talenta luar biasa,” kata Endah.
“Ojo mung jarene kae ngko terus demo sik (jangan hanya karena ‘katanya’ terus jadi demo). Nah, kita harus belajar, memilah-milih, selektif dulu,” sambungnya.
Pewartaan Keroncong Tak Boleh Putus
Musik, film, tari, bahkan teater. Endah Laras menikmati setiap proses di dalamnya. Ia tak bisa mencap salah satu kesenian sebagai zat yang paling berpengaruh. Sebab, semua bidang seni yang dilakoni turut membentuk dirinya seperti sekarang. Pada prinsipnya, ia ingin mengerahkan kemampuan semaksimal mungkin dalam berproses kesenian.
“Saya tidak akan bisa bilang condong ke [kesenian] A, B, C, itu tidak bisa. Karena semua itu saya lalui, saya singgahi, saya pelajari secara serius dan total. Ketika harus nyanyi, saya harus nyanyi total. Nyanyi pun juga apa, tradisi, keroncong, campur sari, modern atau kontemporer. Itu saya juga melakukannya secara tekun,” jelasnya.
Setidaknya ada dua genre yang melekati Endah sebagai penyanyi selama 26 tahun terakhir, yakni keroncong dan campur sari. Ia bukan tipe pemilih, namun diakui Endah bahwa banyak penggemar yang menginginkan dirinya berkutat pada keroncong. Lagi pula, berkat keroncong, Endah dapat menapaki panggung demi panggung, antardaerah hingga antarbenua.
“Saya tidak pilih kasih antara keroncong dan campur sari di hati saya. Tapi audience memang lebih senang meminta saya menampilkan keroncong. Kayak Endah Laras sama dengan keroncong. Itu salah satu yang membikin saya ‘ora keno pedhot sing ku sinau keroncong’, tidak boleh putus untuk mewartakan keroncong,” kata penampil yang identik dengan ukulele itu.
“Keroncong adalah salah satu musik yang sekarang sudah menyatu dalam jiwa saya, wis koyo ambeganku, uripku, ora isoh tak tinggalke (sudah seperti napasku, hidupku, tidak bisa saya tinggalkan),” tegasnya.
Endah menyebut, keroncong sebagai musik khas Indonesia mestinya dijunjung tinggi, dan terus diestafetkan ke lintas generasi. Siasatnya pun sangat beragam. Bisa lewat lagu maupun bidang pendidikan budaya. Ia ingin musik keroncong bisa diapresiasi semua kalangan dan tetap diakrabi, sehingga tak lekang oleh zaman dan menghampiri abadi.
“Penginku keroncong, kesenian tradisi atau budaya tetap bisa dinikmati. Tidak hanya dinikmati sambil lalu, tapi benar-benar kita tahu nilai-nilai kesenian musik tradisi kita ini, dan punya tanggung jawab besar, ‘iki aja nganti mandheg, aja ngasi mati’ (ini jangan sampai berhenti, jangan sampai mati),” tandasnya.
Mendekati tiga dekade di kancah keroncong, Endah merasa sudah kenyang dengan prestasi individual. Oleh karena itu, sembari berkarya, ia juga kerap memikirkan suatu ikhtiar agar musik keroncong semakin mendunia, tentunya tak harus melalui dirinya. Ia menaruh harapan kepada para seniman muda terkait hal ini.
“Saya rasa pencapaian sudah, ya. Tinggal bagaimana yang saya dapatkan ini beralih, atau berpindah kepada seseorang yang nanti akan melanjutkan cita-cita. Apa sing tak nduweni yen mung tak nduweni tok kan ora guna (apa yang saya punya kalau dipendam kan jadi tidak berguna),” ucap Endah.
“Jadi soal karier, rezeki, saya rasa sudah cukup, sudah bersyukur di usia sampai 26 tahun berkarya, tapi apa yang bisa kamu lakukan setelah mencapai ini, ya menularkan kepada yang lain. Memberikan ini semua supaya bisa dipelajari,” tuntas Endah.
Ruas Pertama Ruang Di Antara: Sehimpun Karya 4 Koreografer Muda Progresif
Penulis | : | Iskandar |