•  

logo


Ruas Pertama Ruang Di Antara: Sehimpun Karya 4 Koreografer Muda Progresif

RUAS memberi ruang bagi seniman muda untuk menampilkan hasil kerja artistiknya.

6 Maret 2023 15:44 WIB

Pertunjukan Ine Ku karya Bade Arrasyid di Teater Arena, TBJT, Solo pada Rabu (1/3/2023).
Pertunjukan Ine Ku karya Bade Arrasyid di Teater Arena, TBJT, Solo pada Rabu (1/3/2023). Dok. Jitunews/Iskandar

SOLO, JITUNEWS.COM — Hujan betah mengucuri aspal luar gedung Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Solo pada Rabu (1/3/2023) malam. Sekitar pukul 20.00 WIB, penyelenggara pertunjukan akhirnya mempersilakan penonton, yang di antaranya nyaris sejam menanti di ambang pintu, untuk masuk. Tak seperti biasanya. Ruangan tak menyambut dengan kegelapan total atau 'black out'. Sorotan terfokus pada seseorang di ujung, tempat terjauh dari kawasan penonton. Peristiwa ini cukup terang. Latar tembok dicorat-coret dengan kapur. Sementara itu, satu persatu penonton mulai memantapkan tempat duduknya.

Lengang. Penonton terpaku, pada orang berdandan kasual yang seperti tengah merangkai cerita, juga suara goresan yang dihasilkan dari gesekan kapur dan latar itu.

"Kertas raksasa" itu belum penuh. Tapi sang penampil memutuskan untuk mencukupkan tulisan. Ia membaca tuangan cerita itu sebelum berbalik badan, dan meminta seluruh penonton untuk melakukan hal serupa. Suatu kisah tentang manusia yang pergi ke tempat ternyaman sejauh ia hidup. Ia mengembara ke hutan, menjelajahi sabana, lalu menjadi singa lapar yang memburu kijang, terkadang menjelma kelinci yang menggemaskan. Kemudian berlayar di sungai, dan tertarik pusaran arus.


Di Koridor Gatsu, Sapardi Abadi

Empat orang dari kursi penonton dibujuk turun ke panggung. Mereka—diambil secara acak sehingga tak saling kenal—diminta menyuarakan cerita itu secara lantang, dan dengan berbagai cara, seperti membacanya bersama, dua orang per larik, lalu bergantian. Lantas belasan anak muda tetiba menyusul empat orang itu. Sebenarnya mereka datang dari arah yang sama, kursi penonton. Hanya saja tak sekadar partisipan dadakan, mereka seperti sudah menjadi bagian dari pertunjukan ini sejak awal, atau setidaknya telah mengikuti proses latihan sebelumnya.

Belasan kawula muda itu juga membaca cerita. Namun cerita itu tak mampat, melainkan berkembang, seperti diberi kehidupan lewat visualisasi gerak. Tubuh mereka merepresentasikan muatan kisah. Jika sampai pada bagian singa menerkam kijang, mereka akan bertindak sebagai salah satunya. Begitu juga ketika tiba pada bab pusaran arus, mereka akan berjalan, bahkan berlari mengitari lingkaran imaji yang mereka ciptakan.

Bergabungnya belasan partisipan terencana ini menarik. Seolah dihadirkan sebagai kejutan bagi empat penonton natural sebelumnya. Individu-individu yang baru saja membaur dari yang semula asing, terguncang dengan gelombang lain. Mereka seperti kelompok kecil di tengah massa. Mau tak mau mereka mengikuti arus untuk mengatasi sepi, kendati harus melenyapkan identitas masing-masing.

Cerita yang terus direproduksi itu menemukan puncaknya ketika lampu memerah yang disertai musik keras yang menghentak-hentak. Layaknya genderang pembebasan di penghabisan. Di dalam gedung itu, siapa pun punya hak untuk jadi bagian pertunjukan. Panggung seketika berubah menjadi arena "moshing". Kaos! Dua di antara empat penonton murni yang tampak berjongkok di tengah kekalutan, seolah ingin melawan arus, mempertahankan diri sebagai individu yang leluasa menentukan identitasnya.

Hal di atas sebagai sedikit banyak gambaran mengenai karya Dimas E. Prasinggih yang bertajuk Snail Shell-Omah. Lewat penciptaan itu, koreografer asal Tanjung Pinang tersebut hendak membaca ulang migrasi tubuh sebagai proses pencarian identitas. Dimas memang tertarik pada isu sosial, tentang keterhubungan sesama manusia, maupun manusia dengan alam. Ia mengeksplorasi tubuh untuk mengeja sejarah yang diwakilkan melalui pertunjukan.

Dimas E. Prasinggih bukan satu-satunya koreografer yang tampil di Ruang Apresiasi (RUAS) jilid 1. Sebagai informasi, Ruas merupakan program terbitan Ruang Di Antara, sebuah komunitas yang memberi ruang bagi seniman muda untuk menumpahkan ekspresi sebebas mungkin via pertunjukan.

Repertoar bersambung dengan karya berjudul Fitri, gubahan koreografer asal Banyumas, Sofi C. Andini. Fitri merupakan sosok penari yang menginspirasi Sofi untuk melihat sisi lain dari kehidupan Lengger yang sejauh ini ia geluti. Sebanyak lima penari, termasuk Sofi, menunjukkan sisi keluwesan dan ketegasan yang melengkapi satu sama lain selama pertunjukan berlangsung. Tak jarang antarpenari bertubrukan, terjatuh, kemudian terbangun. Berkali-kali. Seperti perjalanan menggapai impian yang tak mudah. Benturan realitas tak sedikitnya dinyatakan melalui tubuh. Barangkali nyaris tak ada jalan mulus untuk menjadi Lengger. Penentangan itu bisa saja datang berlandaskan nilai-nilai yang mengakar di tengah masyarakat. Meski begitu, ada kalanya repertoar ini cair dengan narasi Sofi bahwa ia ingin bersuami tukang kendang agar bisa jadi Lengger. Dari sini, dapat disinyalir besarnya harapan yang disiasati secara unik, yakni dengan dualitas cinta yang nantinya sama-sama menguatkan.

Lepas dari Fitri, panggung berganti menjadi milik koreografer lain, yakni Bade Arrasyid. Semula penyaji yang menabiri dirinya dengan kain putih perlahan mencuat dari kegelapan. Ia berdiri di atas kursi dan dipancari cahaya tunggal. Tangis bayi timbul sebagai latar suara, serta diiringi lantunan syahadat—merepresentasikan nuansa Islami yang kental di Aceh Tengah. Kemudian ia bergerak ke luar sorotan, menyeret kosen jendela. Usai ruang baru dibentuk, ia bebas dari tabir. Lelaki 25 tahun itu cuma mengenakan celana hitam. Sedangkan bagian tubuh lainnya tak berbalut apapun. Ia seperti baru dilahirkan dari rahim ibu yang suci.

Dalam karya Ine Ku ini, Bade berupaya mempersepsikan imajinasinya tentang sosok ibu. Ia terlebih dahulu sibuk membuat semestanya sendiri dari kosen yang telah dijahit dengan kain putih tadi. Setelahnya ia menampilkan gerak yang agak lambat, seakan menggambarkan kelembutan dan kesabaran seorang ibu ketika merawat anaknya. Musik pengiring dari alat tiup pun terasa mengiris, menembus jiwa, menghanyutkan penonton dalam situasi rekaan Bade.

Tiba lah Bade ke tempat semula, ke kursi yang sekiranya dapat diterjemahkan sebagai halaman rumah. Satu tangannya terangkat, layaknya gestur ibu ketika hendak melepas sang anak untuk menemukan kehidupannya sendiri. Demikian kehidupan seorang ibu, ia melahirkan dan membesarkan anak untuk nantinya ditinggalkan. Sementara si anak, sebagaimana kutipan puisi Rendra, "angin yang kembara."

Sebagai penutup, karya Bounce dari Ayu Fatimah ditampilkan. Judul ini merefleksikan perjalanan perempuan 22 tahun itu dalam mengeksplorasi teknik gerak yang memadukan kekuatan kaki dan pantulan. Sedari awal, tujuh penari yang termasuk Ayu dibersamai musik tempo cepat. Seperti penjelajahan yang dilakoni Ayu dalam berkarya, terus naik tahap, namun tak ada jeda yang amat panjang. Hampir sebagian besar gerak mewujud getaran. Sesekali muncul adegan penari yang menutup indra penari lainnya. Mata, telinga, dan mulut yang dibekap, seperti menyiratkan kebebasan yang kemungkinan terkurung sewaktu-waktu. Namun di samping itu, siapa pun yang menyaksikan Bounce, mereka wajar untuk penasaran, apa yang telah dilalui oleh Ayu sehingga tercipta karya seapik ini.

Karya dari Dimas E. Prasinggih, Sofi. C Andini, Bade Arrasyid, dan Ayu Fatimah menjadi sehimpun persembahan yang sarat warna dalam mengawali sebuah program baru. Sebagaimana digagas, RUAS hendak membuka wacana baru untuk pengembangan artistik para koreografer. Tak sebatas estetika, RUAS merujuk pada skema besar tentang kebudayaan secara luas.

Direktur Ruang Di Antara, Otniel Tasman mengatakan komunitas ini memproyeksikan aktivitas multi-disiplin seni, mulai dari pertunjukan, residensi, lokakarya hingga kegiatan lain antarkomunitas. Menurutnya, Ruang Di Antara diinisiasi untuk memupuk budaya wacana kritis, pendidikan mandiri, pertukaran artistik, dan dukungan praktis. Ruang Di Antara juga dirancang untuk menghadirkan ruang seni yang inklusif, serta bisa menjadi barometer seni pertunjukan bertaraf nasional maupun lebih luas lagi.

"Ruang Di Antara bermula atau didorong kegelisahan terhadap kesenian seni pertunjukan. Karena menurut kita tidak ada parameter yang jelas, kualitas yang harus kita ikuti kayak apa sih, standarisasinya seperti apa," kata Otniel Tasman, yang ditemui usai pementasan.

"Dari kegelisahan itu akhirnya mulai melihat ke diri kita dan sekitar, bagaimana kita bergerak. Akhirnya kita membikin program untuk bisa meningkatkan kualitas secara artistik, penjelajahan secara wacana, kita mengumpulkan wacana yang bersangkutan dengan seni pertunjukan dan perkembangannya di Indonesia," sambung lulusan pascasarjana ISI Solo itu.

Terkait RUAS, Otniel Tasman tak menampik bila para penampil terlebih dahulu melewati kurasi. Namun proses kuratorial untuk sementara ini memang tidak begitu ketat. Ia menyadari ada banyak koreografer potensial yang tengah menjalankan kerja artistiknya di Solo. Oleh karena itu, pihaknya membuka ruang bagi mereka yang ingin memperdalam aktivitas keseniannya melalui RUAS.

"Proses kuratorialnya berjalan secara organik, sesuai dengan awal kita bertemu di wedangan kopi, kan. Kita ngobrol santai. Dari situ lah proses kuratorial terjadi, gak harus melalui proses ketat ini-itu, tapi memang dari hal yang sederhana. Kita melihat secara luas perbincangan kita, akhirnya bisa mengarah ke seniman-seniman progresif yang dipilih untuk tampil. Secara tema pun kita tidak menentukan, justru dari mereka kita bisa melihat tema apa yang penting, yang bisa kita perdalam lagi di kesempatan berikutnya," terang seniman Lengger asal Banyumas itu.

Otniel Tasman lantas membocorkan langkah terjauh dari Ruang Di Antara, yakni gelaran Biennale of Dance. "Dua atau beberapa tahun ke depan. Masih perlu banyak proses dan riset. Tapi semoga seiring waktu berjalan, itu (Biennale of Dance) bisa terjadi," ujarnya.

Pentolan Otniel Dance Community itu juga berharap seniman muda di Indonesia untuk tetap konsisten dalam berproses. Dia menilai pergulatan pikiran dan kegelisahan sangat penting untuk diekspresikan melalui karya seni. "Jangan takut berbuat dan mempresentasikan karya," pungkas Otniel yang juga Direktur Jagad Lengger Festival itu.

Gelar Pertemuan, Mangkunegaran dan Pakualaman Kolaborasi Lestarikan Budaya

Halaman: 
Penulis : Iskandar