Menteri BUMN Klaim Pembangunan Negara Sudah Benar, Demokrat: Faktanya APBN Alami Defisit Cukup Tinggi
Pada 2020, pertumbuhan bahkan terkontraksi -2,07 persen. Bandingkan sepanjang 2004-2014 yang rata-rata pertumbuhan mencapai 5,69 persen
27 Januari 2023 19:11 WIB

Syarif Hasan | Aktual.com |
Syarief menilai, dengan rendahnya laju pertumbuhan dan PDB per kapita, tidak heran jika tingkat pengangguran dan kemiskinan juga masih tinggi. Sepanjang 2005-2014, rata-rata pertumbuhan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar -4,69 persen, artinya setiap tahun TPT menurun secara konsisten.
Sementara pada era Jokowi, sepanjang 2015-2022, rata-rata pertumbuhan TPT adalah 0,57 persen. TPT justru menunjukkan tren menaik. Begitu juga dengan laju kemiskinan pada era Jokowi yang hanya mampu menurun 0,61 persen, jauh lebih rendah ketimbang periode 2005-2014 yang lajunya menurun sebesar -2,54 persen.
"Jadi tidak aneh jika TPT diakhir periode SBY mampu ditekan jadi 5,94, sementara pada 2021 naik kembali jadi 6,26. Tingkat kemiskinan sepanjang era SBY juga mampu ditekan dari 16,66 pada 2004 jadi 10,96 pada 2014. Pada Maret 2022, angka kemiskinan masih menyentuh angka 9,54," tuturnya.
Cek Disini! Link Pengumuman Hasil Tes TKD dan Akhlak Rekrutmen Bersama BUMN Batch 2
Tak sampai di situ, Syarif juga mempertanyakan klaim keberhasilan pembangunan era Jokowi terkait kinerja pengelolaan fiskal. Defisit APBN mencapai angka Rp 468 triliun sepanjang 2015-2023, jauh lebih tinggi dibandingkan periode 2004-2014 yang hanya Rp 119 triliun. Defisit APBN ini berkaitan dengan kinerja pajak dan utang pemerintah.
"Tidak aneh jika kinerja pajak pada era Jokowi hanya mencapai 87 persen, lebih rendah dari era SBY yang mencatat realisasi rata-rata 97,9 persen. Pada akhirnya pemerintah berutang dan menyisakan beban bagi generasi mendatang," tuturnya.
Sepanjang 2015-2022, utang bertumbuh rata-rata sebesar 6,45 persen, berkebalikan dengan kinerja utang pada 2004-2014 yang tumbuh -7,61 persen. Artinya, sepanjang pemerintahan SBY, jumlah utang terus berkurang, dari rasio utang sebesar 56,5 pada 2004 turun drastis menjadi 24,7 pada 2014.
Menurutnya hal ini berkebalikan dengan era Jokowi, yang jumlah utang semakin membengkak, dengan rasio sebesar 39,56 pada 2022.
“Dengan berbagai indikator pembangunan ini, apakah menjadi pantas mendasarkan kinerja pembangunan pada survei persepsi? Persepsi adalah opini, bukan fakta. Saya menilai kita perlu menyampaikan fakta apa adanya, mendasarkan pada ukuran yang baku dan presisi," kata Syarif.
"Apresiasi kinerja memang sesuatu yang wajar dilakukan, namun jika hal itu didasarkan pada opini belaka, pemerintah hanya sebatas menyampaikan klaim. Padahal klaim tanpa fakta bukanlah bentuk edukasi publik yang baik," pungkasnya.
Penulis | : | Khairul Anwar |