Terorisme, Deradikalisasi dan Nataru
Jaringan teroris sengaja melakukan serangan-serangan menjelang waktu perayaan agama tertentu, tak terkecuali mendekati Natal dan Tahun Baru.
11 Desember 2022 07:44 WIB

Ilustrasi radikalisme | Ist |
Pada Hari Rabu pagi tanggal 7 Desember 2022, Bom bunuh diri kembali terjadi di Polsek Astanaanyar, Bandung. Kita menyampaikan bela sungkawa kepada 1 anggota polisi yang tewas dalam serangan itu dan mengutuk serangan itu. Pelaku bom bunuh diri itu diketahui bernama Agus Sujatno alias Agus Muslim. Pelaku merupakan mantan narapidana terorisme yang terkait dengan Bom Panci Cicendo Bandung pada tahun 2017. Agus Muslim adalah salah satu dari 10 Narpidana teroris (Napiter ) yang sudah bebas tetapi kembali melakukan aksi terorisme. Pengamat terorisme Al Chaedar berpendapat bahwa pelaku teroris Agus Sujanto merupakan anggota Jemaah Ansharu Daulah ( JAD), yang sudah dikenal sebagai pendukung ISIS.
Pelaku terorisme yang merupakan ex Napiter menjadi pusat perhatian tersendiri. Masyarakat mungkin bertanya kenapa Ex-Napiter kembali melakukan aksi terornya. Bagaimana program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah? Apakah program deradikalisasi belum berhasil merubah para mantan Napiter untuk bertobat? Kembalinya Napiter kepada jaringan terorisme seperti yang dilakukan oleh Agus bukan hal yang baru. Sekitar 10% dari ex Napiter disebutkan kembali melakukan kejahatan kemanusiaan ini.
Jika pemerintah mengklaim telah melakukan deradikalisai terhadap lebih dari 1000 orang, maka yang kembali melakukan aksi terorisme berjumlah 100 orang. Untuk sebuah kejahatan asimetris seperti terorisme ini, angka 100 merupakan jumlah yang tidak sedikit dan merupakan fenomena yang serius Dalam melakukan serangan, pelaku teror tidak memerlukan jumlah orang yang banyak.
Datangi Lokasi Bom Bandung, Mahdud Md: Jaringan Terorisme Masih Hidup, Sel-sel Masih Bergerak
Serangan bom yang besar seperti Bom Bali, Bom Kuningan Bom Mariot hanya dilakukan oleh beberapa orang. Serangan Bom Mumbay yang menewaskan 192 orang dan menyandera lebih dari 300 orang hanya dilakukan oleh sepuluh orang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kembalinya para Napiter itu karena pemerintah disebut belum mempunyai mekanisme untuk memaksa para Napiter mengikuti program deradikalisasi baik ketika para Napiter masih di penjara, maupun setelah bebas.
Serangan Terorisme Pada hari-hari menjelang Natal dan Tahun Baru
Serangan Bom bunuh diri ini kembali terjadi menjelang hari Natal dan Tahun Baru ( Nataru). Namun insiden ini tidak terjadi di tempat Ibadah umat Kristiani, melainkan di Markas Polisi level yang paling bawah ( Mapolsek). Jaringan teroris sengaja melakukan serangan-serangan menjelang waktu perayaan agama tertentu, tak terkecuali mendekati Natal dan Tahun Baru. Pertanyaan banyak orang adalah mengapa serangan terorisme terjadi menjelang Hari Natal. Apa hubungan antara serangan terorisme dengan Perayaan Hari Natal dan Tahun Baru (Nataru) secara teologi bagi umat Kristiani (Kristen dan Katolik).
Hari Natal pada tanggal 25 Desember merupakan peringatan kelahiran Yesus, pemimpin spiritual agama Kristen dan Katolik dari Nazareth. Secara sosiologis, hari Natal merupakan fenomena social yang penting tidak saja bagi Umat Katolok dan Kristen, tetapi juga bagi umat manusia di seluruh dunia, 25 desember merupakan hari libur umat Kristiani , yang kemudian dilajutkan dengan hari libur Tahun Baru yang dinikmati atau dirayakan oleh seluruh umat manusia di dunia. Jadi hari –hari menjelang Natal dan Tahun Baru merupakan “moment of attention” bagi umat Kristiani dan seluruh penduduk dunia , karena hari hari menjelang Nataru sebagai hari libur Internasional banyak dinanti dengan penuh kegembiraan.
Setidaknya ada dua alasan mengapa hari-hari menjelang atau pada saat Nataru dipilih oleh para teroris untuk melakukan serangan. Pertama, secara strategis, serangan teroris pada hari-hari Nataru akan lebih banyak mendapat perhatian oleh masayarakat dunia, terutama umat Kristiani. Bagi para teroris perhatian yang harapan mereka bisa dilanjutkan dengan perasaan takut menjadi indicator keberhasilan aksi mereka. Bagi para teroris, efek dari serangan atau implikasi tidak langsung dalam bentuk ketakutan lebih penting dari efek langsungnya, yaitu kerusakan jiwa dan material.
Kedua, dalam kontek Indonesia, serangan terorisme yang menggunakan simbol-simbol Islam pada saat hari–hari penting umat Kristiani diarahkan untuk menciptakan ketidak percayaan kepada Islam. Jika scenario ini terjadi, akan merusak semangat plurarisme yang menjadi esensi “Bhineka Tunggal Ika” bangsa Indonesia yang sudah lama kokoh menjadi modal social bangsa Indonesia.
Aspek lain yang perlu dicatat adalah serangan yang mentargetkan kantor Polisi, sebagaimana diingatkan oleh pengamat terorisme, Al Chaedar, merupakan tipikal serangan dari kelompok teroris Jemaah Ansharu Daulah (JAD). Motifnya adalah melakukan balas dendam, karena Polri adalah aparat terdepan dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku terrorism.
Terkait dengan serangan terorisme yang menggunakan symbol –simbol Islam seperti JAD, penting dicatat pendapat Bruce Hoffman (2006) Ahli terorisme yang mengatakan bahwa ancaman terorisme mengalami pergeseran. Jika pada masa sebelumnya motif terorisme lebih kepada isu-isu etno nasionalisme, setelah munculnya fatwa dari pimpinan AQ, Osama Bin Laden pada tahun 1996 dan 1998, terorisme masih mempunyai tujuan politik, tetapi lebih banyak dibalut dengan ideologi dan elemen agama serta bersifat transnasional atau lintas batas negara. (Hoffman, 2006).
Sedangkan menurut mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan juga dikenal sebagai ahli terorisme, Hendropijono, tujuan dari terorisme yang menggunakan symbol-simbol Islam itu adalah menghancurkan kekuatan-kekuatan yang merekan anggap bertentangan dengan hukum-hukum Islam dan tentu merugikan perkembangan Islam. (Hendropriyono, 2009).
Tidak Perlu Takut dan Panik, Tetapi Waspada
Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari serangan terorisme yang dilakukan menjelang hari natal dan tahun baru (Nataru), sebagaimana yang terjadi dalam kejadian bom Bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar Bandung ini. Pertama, harus disadarai bahwa walaupun negara telah melakukan deradikalisasi terhadap para Napiter dan Polri telah melakukan penangkapan yang berjumlah lebih dari 1000 sejak tiga tahun terakhir ini, ancaman terorisme masih ada. Kejadian di Mapolsek Astanaanyar 3 hari yang lalu merupakan bukti yang paling baru.
Kedua, Umat Kristiani dan seluruh komponen bangsa Indonesia tidak perlu takut dan panik dengan kejadian tersebut. Karen jika masyarakat merasa takut dan panik artinya masyarakat kalah dengan dengan terorisme, mengikuti permainan terorisme yang target utamanya adalah menyebar ketakutan.
Ketiga, kejadian di Astana Anyar harus dianggap peringatan terutama kepada aparat keamanan untuk terus waspada, dan meningkatkan kewaspadaan terutama menjelang Natal dan Tahun Baru ini. Sudah menjadi pakem keamanan, biasanya kejadian bom akan diikuti dengan berbagai langkah-langkah peningkatan operasi misalnya dengan melakukan penangkapan-penangkapan.
Langkah-langkah ini tentunya tidak salah. Namu demikian langkah ini bisa dianggap belum cukup, karena kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme seharusnya lebih memberikan focus atau penekanan kepada akar penyebab terorisme atau deradikalisasi. Sinyalemen yang mengatakan bahwa 10 % Napiter kembali kepada jaringan terorisme dan berpotensi melakukan serangan dan himbaun bahwa program deradikalisasi perlu dintinjau kembali harus mendapatkan atensi pemerintah dan diikuti dengan langkah-langkah yang responsif lainnya.
Penulis: Dr. Sri Yunanto
(Dosen Magister Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Anggota Kelompok Ahli BNPT 2010-2015)